Demi masa depan kedua anaknya, ia nekad memilih jalan hidup yang mungkin
sangat sulit dijelaskan dengan nalar. Ia rela kawin dengan genderuwo.
Ini ia lakukan bukan semata-mata karena ia mendambakan hidup bahagia
dengan limpahan harta dari suaminya yang berasal dari dunia gaib
tersebut. Namun, sekali lagi, ia melakukannya demi masa depan kedua
anaknya yang telah lama ditinggal pergi oleh ayahnya.
Tapi, bagaimana kenyataan selanjutnya yang harus ia hadapi? begini ceritanya....
Kehidupan
rumah tanggaku pada awalnya sangat bahagia. Suamiku, Warijo, seorang
pria yang sangat bertanggungjawab. Ia juga ayah yang baik dan sangat
menyayangi ketiga anaknya.
Suatu saat kami harus pindah dari
Surabaya ke Palembang. Maklum saja, ketika itu Mas Warijo dimutasi ke
kantor cabang perusahaan tempatnya bekerja dengan posisi dan jabatan,
juga gaji yang tentu saja jauh lebih baik. Semula kami berharap akan
mendapatkan kehidupan yang lebih bahagia lagi di tempat baru ini, namun
justeru di Kota Empek Empek inilah kepahitan itu berawal.
Ya,
tragedi itu bermula dari vonis kanker otak terhadap anak ketiga kami
Bambang Prihandoko, yang ketika itu baru berumur 3,5 tahun. Kenyataan
ini sungguh memukul batinku, juga batin suamiku. Sejak si bungsu divonis
mengidap kanker otak, kulihat Mas Warijo sering melamun seorang diri.
Memang, dibanding kedua anaknya yang lain, Mas Warijo jauh lebih
menyayangi si bungsu, sebab sejak bayi merah anak ini memang sering
sakit-sakitan sehingga membutuhkan perhatian ekstra dari kami. Mungkin
karena itulah tumbuh kasih sayang yang sangat besar dari kami berdua,
terutama Mas Warijo yang pernah menyebut Bambang sebagai "anak yang akan
memiliki banyak keajaiban," sebab ketika aku mengandungnya Mas Warijo
mengaku sering bermimpi ditemui seorang kakek bersorban putih mirip
sosok wali, yang menitipkan anak padanya. Namun, mimpi hanyalah mimpi.
Kenyataan tetap berbicara lain.
Meski biaya pengobatan si kecil
ditanggung oleh Asuransi Kesehatan (ASKES) dari perusahaan tempat Mas
Warijo bekerja, namun karena penyakit yang diderita oleh Bambang relatif
langka dan sulit disembuhkan, maka usaha kami membawanya berobat ke
berbagai rumah sakit ternama di Kota Palembang sepertinya hanya sia-sia
saja. Bila sedang kumat si kecil Bambang sering jatuh pingsan, dan kami
tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya membawanya ke rumah sakit
untuk sekedar mendapatkan penangangan gawat darurat.
Kami hampir
putus asa menghadapi keadaan si bungsu. Puncaknya, pada musim libur hari
raya Idul Fitri di tahun 2005 silam, kami sekeluarga memutuskan mudik
ke kampung halamanku di Wonogiri, Jawa Timur. Disamping ingin berlebaran
bersama keluarga, rencananya kesempatan ini juga akan kami gunakan
untuk mencari cara alternatif guna mengobati penyakit Bambang.
Manusia
hanya bisa berencana, sedang Tuhan juga yang menentukan. Itulah yang
terjadi. Seminggu setelah tinggal di rumah orang tuaku untuk menikmati
liburan, dan sebelum sempat kami membawa Bambang berobat secara
alternatif, ternyata Tuhan telah memanggilnya lebih dulu. Bambang
menghembuskan nafas terakhirnya dalam gendongan ayahnya.
Kepahitan
ini terjadi hanya 3 hari setelah hari raya Idul Fitri. Betapa
berdukanya kami sekeluarga karena kepergian Bambang jatuh pada hari yang
semestinya penuh dengan kabahagiaan. Apalagi malam harinya Bambang
masih sehat dan bermain-main dengan kami. Baru menjelang subuh ia
pingsan setelah lebih dulu kejang karena menahan sakit pada kepalanya,
sampai akhirnya ia tak kuat lagi melawan rasa sakit itu.
Kepergian
si bungsu sungguh merupakan kehilangan yang teramat besar bagi kami.
Sebagai ibu yang merawatnya sejak masih dalam kandungan, sudah barang
tentu sulit bagiku untuk mengikhlaskan kepergiannya. Mas Warijo pun
sepertinya merasakan hal yang sama. Namun sebagai lelaki ia sudah pasti
jauh lebih kuat jika dibandingkan denganku. Buktinya, walau masih dalam
kedukaan, karena masa liburan yang sudah habis, maka itu setelah
selamatan tujuh hari kepergian Bambang, Mas Warijo kembali ke Palembang
untuk melakukan rutinitasnya sebagai seorang karyawan sebuah perusahaan
swasta. Sementara itu aku sendiri lebih memilih untuk tetap tinggal di
rumah orang tuaku. Demikian pula dengan kedua anakku yang ketika itu
baru duduk di kelas satu dan dua SMP. Mereka tetap tinggal di Wonogiri,
bahkan karena kedekatan dengan kakek dan neneknya kedua anakku ini
memilih pindah sekolah.
Sejak kepergian si bungsu, hari-hari
yang kulalui terasa sangat hampa. Berat pula bagiku untuk kembali ke
Palembang mengingat kedua putra dan putriku juga enggan untuk menyusul
ayahnya pulang ke sana. Kerana keadaan ini pada akhirnya aku pun lebih
memilih tinggal di Wonogiri. Suamiku cukup mengerti dengan pilihanku
ini. Ia tahu pasti kalau kondisi jiwaku masih sangat labil.
Lima
bulan berlalu sejak kematian si bungsu, Mas Warijo masih rutin mengirimi
kami uang untuk biaya hidup setiap bulannya. Di bulan ke 6 sesuatu yang
tak pernah kuduga sebelumnya terjadilah. Kiriman uang dari Mas Warijo
tak kunjung tiba sesuai jadwal biasanya. Mendapati kenyataan ini, kucoba
menghungunginya lewat ponsel miliknya, tapi ternyata mailboks. Ketika
kukontak lewat telepon kantor, pihak resepsionis malah mengatakan kalau
Mas Warijo sudah mengundurkan diri sejak sebulan lalu.
Berita ini
benar-benar membuatku pusing tujuh keliling. Mengapa Mas Warijo
mengundurkan diri dari pekerjaan dengan tanpa terlebih dahulu meminta
pendapatku, atau setidaknya memberitahuku? Apa yang telah terjadi
dengannya? Mengapa ia begitu berani mengambil keputusan yang sedemikian
gegabah? Apakah ia sudah mendapatkan pekerjaan lain yang jauh lebih
menjanjikan?
Setumpuk pertanyaan itu tak pernah kudapatkan
jawabannya, sebab sejak kuterima berita itu Mas Warijo seolah telah
menghilang dari jagat raya ini. Tak pernah secuilpun kudengar kabar
tentang dirinya. Berulang kali kuhubungi nomor ponselnya, namun yang
kudengar hanya suara operator yang mengatakan bahwa nomor tersebut tak
dapat dihubungi.
Betapa kecewa hatiku, sebab Mas Warijo pun sama sekali tak pernah mengontakku walau hanya sekejap saja.
Kemana
perginya Mas Warijo? Tak ada seorang pun yang bisa menjawabnya. Ia
telah pergi tanpa pesan. Meninggalkanku dengan dua orang anak yang masih
membutuhkan biaya hidup yang sangat besar, terutama untuk
pendidikannya.
Di tengah keputusasaan aku bertemu dengan
sahabatku semasa SMA dulu. Sebut saja namanya Yulianah. Waktu itu aku
sangat surpraise melihat keadaan Yulianah yang sepertinya sudah jadi
orang sukses. Ia bisa nyetir sendiri mobilnya yang bagus dan sangat
mewah menurutku. Tak hanya itu, ia juga sudah menyandang gelar sebagai
seorang Hajjah, dan ia nampak cantik sekali dengan balutan busana
muslimah.
Bagaimana ceritanya sampai kehidupan Yulianah bisa
berubah dengan sedemikian drastis? Padahal, aku tahu persis bagaimana
asal-usul sahabatku ini. Ia lahir dari keluarga petani yang sangat
miskin. Bahkan sewaktu sekolah dulu ia sering menunggak SPP, dan kalau
jajan di kantin sering kali aku yang mentraktirnya.
Melihat
Yulianah yang sudah hidup senang, terus terang saja aku merasa sangat
iri padanya. Sahabatku ini seolah-olah bisa membaca perasaanku.
Buktinya, seminggu setelah bertemu dengannya, ia mengundangku datang ke
rumahnya.
Ketika aku sampai di rumahnya, kekagumanku padanya
semakin besar saja. Bagaimana tidak? Kulihat rumah Yulianah yang megah
dan cukup mewah menurut ukuranku.
"Kemana suamimu, Yul?" tanyaku ketika itu saat melihat suasana rumah yang sepi.
Yuliana tersenyum sambil menyuguhkan cemilan di hadapanku. "Aku sudah 5 tahun menjanda, Ret!" katanya.
Mendengar
jawabannya, aku merasa sedikit tak enak hati. Namun, Yulianah
sepertinya tidak merisaukan pertanyaanku barusan. Nyatanya ia segera
menyambung penjelasannya.
"Suamiku selingkuh, jadi kupikir
mending bercerai saja. Lagi pula, sekarang ini keadaanku sudah cukup
mapan. Karena itu meski mantan suamiku sering meminta ingin kembali,
tapi dengan tegas selalu kutolak. Apalagi kedua anakku juga sudah besar.
Mereka tidak pernah menanyakan Bapaknya. Ya, beginilah kehidupanku, dan
aku merasa cukup bahagia meski tanpa suami. Oya, bagaimana keadaanmu
rumah tanggamu, Retno?"
Karena ditodong pertanyaan seperti itu,
akhirnya tanpa tedeng aling-aling kuceritakan bagaimana porak-porandanya
keluargaku. Sebagai sahabat, sepertinya Yulianah sangat tersentuh
mendengar ceritaku.
Ia berkata setelah menyimak ceritaku, "Aku
ini tetap sahabatmu, Retno. Karena itu aku juga ingin melihat hidupmu
bahagia. Masalahnya, apakah kau mau melakukan solusi yang akan
kuberikan, dan apakah kau akan mempercayainya?"
"Seperti apa solusi yang kau tawarkan itu, Yul?" aku balik bertanya.
"Kau harus kawin dengan genderuwo!"
Betapa
terkejutnya aku mendengar jawaban dari mulut mungil sahabatku ini.
Bagaimana mungkin Yulianah yang sudah menyandang titel sebagai seorang
Hajjah itu sampai tega hati menawarkan solusi sesat itu padaku?
Seolah
bisa membaca keterkejutanku, Yulianah buru-buru menyambung ucapannya
sambil tersenyum, "Kau jangan buru-buru berpikiran negatif! Kau pasti
menyangka ini semacam pesugihan bukan? Sama sekali tidak, Retno!
Menurutku ini halal. Kau akan dinikahkan dengan makhluk itu secara
Islam. Selama kau menjadi isterinya, genderuwo itu akan menafkahimu
secara lahir dan batin. Bila kau sudah merasa punya cukup modal, kau
bisa bercerai dengannya. Dan yang paling penting, ritual ini tidak ada
tumbal macam-macam. Asal kau tahu saja, aku bisa seperti ini juga kerana
melakukan ritual itu. Setahun lalu aku minta cerai sebab aku sudah
merasa punya cukup modal untuk berusaha sendiri. Genderuwo itu bersedia
menceraikanku, dan sekarang hidupku tenang sebab aku juga bisa
menjalankan ibadah."
Setelah mendengar penjelasan Yulianah
seperti itu, akupun mulai tertarik untuk mengikuti jejaknya. Terlebih
lagi kehidupan saat itu memang sangat susah. Bapakku yang selama ini
menjadi tulang punggung keluarga sudah berhenti bekerja\ karena penyakit
diabetes yang merongrong tubuhnya. Belum lagi aku juga harus memikirkan
biaya sekolah dan masa depan kedua anakku. Walau bagaimana pun mereka
harus terus sekolah dan kuliah sampai ke perguruan tinggi.
Dengan
kedua alasan tersebut akhirnya aku meminta Yulianah untuk
mengantarkanku ke rumah "orang pintar" yang katanya sudah biasa memandu
ritual kawin dengan genderuwo itu.
Singkat cerita, Yulianah
mempertemukanku dengan Ki Badrowi, sebetulah begitu, paranormal yang
biasa mengawinkan manusia dengan genderuwo. Setelah mendengarkan
penjelasan tentang keinginanku yang disampaikan oleh Yulianah, Ki
Badrowi mengaku bersedia membantu. Namun aku diminta untuk mempersiapkan
semua kelengkapannya, seperti Apel Jin dan berbagai sarana lain untuk
selamatan ritual perkawinan itu nantinya. Yulianah bersedia membantuku
menyaiaokan semua keperluan ini.
Benar juga kata Yulianah. Ritual
perkawinan itu memang seperti halnya prosesi perkawinan dalam aturan
hukum Islam. Artinya, ada saksi, penghulu, wali, pengantin, dan juga
ijab kabul, bahkan juga mas kawin berupa cincin emas seberat 1 gram.
Untuk wali langsung diwakilkan kepada Ki Badrowi, sebab ayahku memang
tidak mungkin bisa dihadirkan. Jadi, dalam prosesi pernikahan itu Ki
Badrowi bertindak sebagai wali sekaligus penghulunya.
Karena
mempelai lelaki tak bisa dilihat oleh mataku, maka proses ijab kabul pun
sangat janggal menurutku. Sama sekali tidak ada ucapan akad nikah,
meski kemudian wali dan saksi langsung mengesahkannya.
Yang juga
terasa aneh, setelah prosesi pernikahan selesai, Yulianah berbisik di
telingaku, "Suamimu itu tampan sekali, Retno. Kau beruntung
mendapatkannya!"
Tampan? Bagaimana mungkin Yulianah mengatakan
ini padaku, padahal aku sama sekali tidak melihat keberadaan suamiku
itu. Apakah memang Yulianah bisa melihat perwujudannya sehingga ia
berkata demikian?
Aku tak tahu pasti. Yang jelas, aku meyakini
kalau Yulianah hanya membohongiku. Buktinya, aku mengalami ketakutan
yang teramat sangat ketika di malam Jum’at Kliwon itu suamiku gaibku
datang dan ingin menjalankan kewajibannya di malam pertama. Memang,
sesuai dengan pesan Ki Badrowi, malam pertamaku dengan suamiku yang
genderuwo itu akan dimulai persis pada malam Jum’at Kliwon. Dan, menurut
paranormal itu, setelah menjalankan kewajibannya di malam pertama, maka
suamiku itu akan memberikan nafkah materinya berupa tumpukan uang dalam
jumlah yang lebih dari mencukupi.
Persis di malam Jum’at itu
kebetulan di kampung tempatku tinggal sedang ada orang hajatan dengan
hiburan musik dangdut. Kedua anakku sejak sore sudah minta ditemani
nonton. Karena ada niatan khusus, sudah tentu aku menyuruh mereka pergi
nonton sendiri-sendiri. Yang tinggal di rumah ayahku yang terbaring
sakit dan ibu yang selalu setia menemaninya.
Menjelang pukul 12
malam kedua anakku pulang, dan mereka tidur di kamar depan. Aku sendiri
masih menunggu apa yang akan terjadi. Pintu kamar kukunci rapat-rapat,
meski udara malam itu terasa sangat panas dan gerah.
Sesuai
dengan pesan Ki Badrowi aku sudah berdandan cantik dengan pakaian yang
diaromai oleh minyak khusus pemberian dukun itu, yang baunya cukup
menyengat. Aku tak ubahnya seperti pengantin perempuan yang sedang
menunggu kehadiran sang pengantin pria untuk menikmati bulan madu.
Menjelang
pukul satu dinihari masih tetap tidak terjadi apa-apa. Akupun mulai
lelah menunggu. Sambil menahan kantuk kurebahkan tubuhku di atas
ranjang. Ketika rasa kantuk sudah mulai menggayuti pelupuk mataku,
antara sadar dan tidak aku dikejutkan oleh sesuatu yang terjadi di dalam
kamarku.
Aneh sekali, sosok bayangan hitam sepertinya tiba-tiba
muncul dari balik dinding. Beberapa saat kemudian bayangan itu semakin
mempertegas wujudnya. Ya, seorang lelaki tinggi besar, berbadan hitam
dan licin berkilat. Dan yang sungguh aneh, dia sama sekali tidak
mengenakan pakaian walau sehelai benang pun.
Siapakah lelaki
tinggi besar ini? Apakah dia genderuwo yang telah sah menjadi suamiku?
Mengapa sosoknya sedemikian menyeramkan? Padahal, Yulianah bilang
suamiku ini sangat tampan. Apakah Yulianah benar-benar sudah
membohongiku?
Berbagai pertanyaan itu mendera batinku. Kulihat
lelaki bugil itu berdiri sambil memandangi tubuhku. Kemudian pelan-pelan
ia menunduk dan tangannya menyentuh pipiku. Aku bergidik dan berusaha
berontak, namun anehnya seketika itu tubuhku berubah sangat kaku seperti
terpasung oleh suatu kekuatan gaib.
Dengan sangat ketakutan aku
hanya bisa pasrah menghadapi sentuhan makhluk itu. Setelah ia menyentuh
pipiku, lalu ia mengendus aroma rambutku yang tergerai, lalu hidung dan
bibirnya menjelar di permukaan pipi, hidung, bibir dan daguku.
Sejekap
kemudian, lelaki menyeramkan itu seperti kalap. Tangannya yang kekar
melingkar di sekujur tubuhku, hingga membuat nafasku semakin sesak.
Bibirnya melumat bibirku, dan sepasang kakinya yang licin mengkilat itu
mengapit kedua belah kakiku dan berusaha mengangkangkannya.
"Tolooong…!!"
Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Namun celakanya mulutku bagai
tersumbat. Teriakanku hanya menggema di dalam rongga dadaku.
Tangan
pria aneh itu semakin liar menggerayanghi tubuhku, sebelum akhirnya
membuka bajuku dan melepaskan kain yang kupakai. Desah nafasnya yang
memburu bagaikan sebuah kekuatan hipnotis yang membuatku hampir saja
hilang kesadaran.
Tetapi, Tuhan menyayangiku. Dalam keadaan yang
sangat kritis itu tiba-tiba saja mulutku berucap dengan lantang,
"Astagfirullah…Allahu Akbar…Laa Khaula Walaa Kuwwata Illah Billah…!!"
Ya,
sekali ini suara itu benar-benar keluar dari mulutku. Dan yang terjadi
di hadapanku sungguh sebuah kenyataan yang sulit dimengerti.
Mendadak
saja lelaki telanjang itu terpental dari atas tubuhku, sambil mengerang
keras seperti seekor anjing yang terluka. Bersamaan dengan itu tubuhku
yang semula kaku dapat digerakkan kembali. Spontan aku melompat dari
tempat tidur sambil menjerit-jerit memuji kebesaran Allah.
"Laa Ilaaha Illallah…Allahu Akbar…Subhanallah…!"
Pujian-pujian
itu keluar begitu saja dari mulutku, dengan suara yang lantang. Sama
seperti kejadian semula, sosok makhluk itu mengubah wujudnya menjadi
bayangan hitam lalu hilang seolah masuk ke dalam dinding.
Tak
lama kemudian kedua anakku menggedor-gedor pintu sambil
memanggil-manggil "mama". Ketika pintu kubuka mereka langsung
berhamburan memelukku dan langsung bertangisan.
"Apa yang terjadi, Ma?" tanya Angga, anak sulungku.
Aku
hanya menggeleng-geleng sambil membiarkan air mataku mengalir deras
membasahi sekujur wajahku. Sungguh aku tak kuasa menjelaskan semua ini
kepada kedua anakku. Aku tak ingin melukai perasaan mereka. Aku tak
ingin mereka menudingku telah melakukan kesesatan hanya karena tak tahan
menanggung kesusahan hidup….
Siang setelah malamnya mengalami
kejadian aneh tersebut, Yulianah datang menemuiku dan mengatakan kalau
aku telah gagal dalam melakukan ritual.
"Biarlah kujalani
kehidupan seperti ini, Yul! Aku tak ingin lagi melakukan ritual kawin
dengan genderuwo itu," kataku setelah mendengar penjelasan Yulianah.
Meski
mengaku kecewa, namun Yulianah cukup mengerti dengan perasaanku.
Sebagai sahabat, ia juga meminta agar aku tidak sungkan-sungkan meminta
bantuan padanya bila aku memerlukannya. Namun sejujurnya, aku tak pernah
berani meminjam uang kepada sahabatku ini walau dalam keadaan sesulit
apapun. Ini semata-mata kulakukan karena aku takut sesuatu akan terjadi
terhadap diriku.
Ketika kuputuskan mencurahkan kisah ini kepada
Bung Prayoga Gemilang, tak terasa sudah hampir setengah tahun peristiwa
itu berlalu. Walau begitu, aku masih mengalami perasaan traumatik, sebab
bayangan lelaki alam gaib itu masih sering menghantuiku. Ia sering
datang dalam mimpiku dan menagih malam pertamanya padaku.
Sumber : Prayoga Gemilang (Misteri)
indospiritual.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar