Lelaki itu semakin hari semakin
menderita setelah ditinggal anak perempuannya. Anaknya yang baru berusia
lima tahun itu merenggut ajal di pinggir sungai Cipunagara.
Sejak
kehilangan sang anak, Dirta, si lelaki itu, selalu melamun di tepi
sungai Cipunagara, dan terkadang dia bicara sendirian lalu tersenyum.
Begitulah hari-hari yang dilewati Dirta semenjak empat bulan yang lalu
ditinggal mati anak perempuan semata wayangnya. Rasa menyesal di hatinya
membuat goncangan hebat di dalam jiwanya.
Bermula dari kemarau panjang, menjelang akhir tahun. Karena kondisi
perekonomian yang sulit, banyak warga yang terpaksa makan nasi aking.
Kejahatan pun semakin merebak di berbagai perkampungan penduduk.
Kebiasaan
mencuri, merampok disertai penganiayaan kepada korban bukan kejadian
aneh lagi ketika itu. Aku sebagai juru tulis alias sekdes cukup
kewalahan menerima pengaduan dari masyarakat yang menyangkut pencurian,
bakik hewan ternak maupun harta benda lainnya yang melanda warga desa.
Tak terhitung pula laporan mengenai warga yang busung lapar dan terkena
penyakit menular singgah di meja kerjaku yang sudah lapuk.
Begitu
banyak laporan itu dan sejujurnya saja sulit untuk ditindak lanjuti
mengingat kapasitasku yang hanya sebagai sekertaris desa. Namun dari
semuanya, hanya ada satu laporan dari warga yang aku angap menarik untuk
ditindak lanjuti, yakni tentang kematian bocah berumur lima tahun yang
mati tenggelam di sungai Cipunagara ketika sedang mencari capung dengan
teman-temannya.
Hari masih pagi, dan kayuh sepeda tuaku menuju
rumah warga yang bernama Dirta. Ada beberapa orang hadir menyambut
kedatanganku. Aku mengira jasad bocah itu langsung akan dimakamkan,
tetapi setelah diperhatikan wajah-wajah yang menyambutku tampak
kebingungan dan mengeluh.
"Jasadnya belum diketemukan, Pa Ulis!" Bisik salah seorang kepadaku.
"Memang kejadiannya kapan?" Tanyaku.
"Kemarin sore, menjelang maghrib," jawabnya.
"Ada bukti atau saksi saat kejadian anak si Dirta tenggelam?" Tanyaku kepada ketua RT.
"Ada
Pa Ulis, temannya, anak Ropiah. Dia menangis pulang sambil membawa
sepasang sandal anak si Dirta. Dia memberitahukan kejadiannya kepada
Bapaknya," papar ketua RT.
Aku merenung sejenak, lantas aku
perintahkan semua lelaki menyisir pinggiran sungai Cipunagara menuju ke
hilir mumpung hari masih pagi. Aku pun turut serta mencari bersama-sama
masyarakat. Tidak sejengkalpun terlewati dari tatapan mata para pencari
jasad anaknya Dirta.
Rerimbunan alang-alang dan semak-semak yang
tumbuh subur di pinggiran sungai Cipunagara tidak luput dari buruan
pencari jasad anak perempuan si Dirta. Teriakan-teriakan memanggil nama
korban menambah hiruk-pikuk suasana saat itu.
Menjelang Dzuhur,
pencarian masih tetap nihil namun semangat warga masih menggebu-gebu
untuk mendapatkan korban. Seingatku hampir semua lelaki yang ada di
kampung Kedung Jati turun ikut mencari. Menjelang Maghrib, pencarian
dihentikan.
Seluruh masyarakat berkumpul di rumah Dirta untuk
bermusyawarah mencari solusi apa yang harus dilakukan guna mendapatkan
kembali jasad anak perempuannya. Kalau melihat keadaan sungai
Cipunangara saat itu, airnya kecil hampir tidak berarus, ini biasa tiap
tahunnya bila musim kemarau, maka tidak mungkin rasanya jasad anak
perempuan si Dirta sudah jauh terseret arus. Ya, mustahil sekali.
Saat
kebuntuan datang, tiba-tiba salah seorang warga berkata, "Pak Ulis,
bagaimana kalau kita memanggil malim buaya (pawang buaya)?"
"Boleh saja. Siapa di antara kalian yang tahu orangnya?" Tanyaku.
"Ada orangnya, tapi bukan orang desa sini. Jauh, Pak Ulis," ucapnya.
"Dimana?" Tanyaku penasaran.
"Di Haurgeulis. Tapi bisa dipanggil kesini!" Jawabnya.
"Ya sudah, besok saja karena sekarang sudah malam," ucapku.
Esok
paginya, salah seorang kuperintahkan berangkat ke Haurgeulis. Sambil
menunggu sang pawang buaya datang, yang ada kuperintahkan untuk turun
kembali mencari jasad yang tenggelam. Siapa tahu sekarang sudah dapat
timbul atau mengambang di permukaan air.
Sementara itu, Dirta
tidak henti-hentinya menangis sambil berteriak-teriak memanggil anaknya
yang tenggelam dua hari lalu. Semenjak bercerai dengan isterinya setahun
yang lalu, anaknya itu memang ikut denganya, sedangkan isterinya pulang
ke orangtuanya.
Sampai menjelang Dzuhur, yang kuperintahkan ke
Haurgeulis belum juga datang. Aku dengan bersabar menunggu di pinggir
sungai Cipunagara sambil memperhatikan orang-orang yang sedang mencari
jasad anaknya si Dirta.
Memang bila musim kemarau, airnya dangkal
hanya sebatas lutut hingga perut orang dewasa. Tetapi ada lokasi-lokasi
tertentu yang dipercaya masyarakat di sekitar Cipunagara menyebutnya
Kedung (lubang besar dibawah air) yang cukup dalam. Tempat ini adalah
lokasi bersemayam makhluk halus, penunggu atau penghuni kerajaan siluman
air sungai Cipunagara. Ya, sungai Cipunagara yang membentang dari
selatan ke utara itu memang menyimpan mitos daerah-daerah yang
dilaluinya. Mulai dari wilayah Kabupaten Sumedang, sampai ke hilir di
wilayah Pamanukan, Kabupaten Subang.
Mitos-mitos bermunculan
seperti kisah sepasang pengantin di larang menyeberang sungai
Cipunagara, atau orang diluar wilayah tersebut janga mandi di sungai
itu. Dan memang, mitos itu berlaku hingga sekarang dan terbukti ada yang
jadi korban.
Masyarakat sepanjang sungai ketika penumpasan
G30S/PKI hampir setiap hari menguburkan mayat-mayat yang mengambang dari
hulu menuju hilir, dalam keadaan tidak utuh lagi. Ada yang tangannya
hilang atau kepalanya tidak ada, isi perutnya kosong dan alat vital
hilang, dan banyak lagi.
Ba’da Ashar, pawing buaya yang ditunggu
akhirnya datang. Aku selesai shalat Ashar di surau tidak jauh dari rumah
Dirta. Sebelum terjun ke lokasi, Dirta dipanggil ke surau. Orang yang
dipanggil Abah dengan keahlian pawang buayanya itu meminta Dirta untuk
menceritakan awal kejadianya.
Kadang-kadang aku dan warga ikut
nimbrung untuk melengkapi cerita Dirta. Sesekali pria setengah baya
bertubuh kecil yang dipanggil Abah itu manggut-manggut, dengan mulut
komat-kamit dan matanya dipejamkan beberapa saat.
"Dirta, anakmu ada di suatu tempat yang aman. Makan dan minum disediakan," Ucap Abah sambil tersenyum.
Semua yang hadir saat itu senang mendengarnya.
"Tetapi anak itu bukan di alam manusia!"Demikian tegas Abah.
Suasana hening dan tegang. Apalagi, Dirta ingin segera Abah melanjutkan ucapannya.
"Anakmu
ada didunia yang tidak tampak oleh mata sembarangan orang. Persisnya
dia ada di alam lelembut penguasa kerajaan Kedung Cipunagara," terang
Abah.
"Apakah bisa diambil kembali, Abah?" Tanyaku.
"Bisa!" Jawab Abah, singkat.
"Tetapi
nanti bila kita kesana. Abah minta kepada Dirta, apa yang ada di depan
matamu harus diakui. Ingat itu!" Ujar Abah memperingatkan Dirta.
"Baiklah, Abah!" Ucap Dirta.
Abah
melanjutkan lagi ucapannya, seraya sepasang matanya melihat orang-orang
yang ikut riungan saat itu, "Abah minta seorang saksi dari pihak aparat
desa sini. Apakah ada?" Tanyanya.
"Ada, Bah. Pak Ulis Supena ini!" Jawab beberapa warga serempak menunjukku.
"Pak Ulis siap jadi saksi?" Tanya Abah.
"Insya Allah siap, Bah!" Jawabku, singkat.
"Nanti
kita bertiga…Abah, Dirta dan Pak Ulis berangkat ke raja penguasa Kedung
Cipunagara, supaya anak Dirta dikembalikan. Tetapi seperti yang sudah
Abah katakan, apapun yang kamu lihat di sana harus diakui. Mengerti,
Dirta?" Abah menerangkan sambil mengingatkan kembali kepada Dirta.
Dirta mengangguk, "Ya, Bah!" Tegasnya.
Setelah
semua siap, kami berangkat menuju sungai Cipunagara. Warga mengikuti
dari belakang, ingin menyaksikan apa yang akan terjadi. Aku sedikit
tegang, juga bertanya-tanya di dalam hati, apa yang akan dilakukan sang
pawang buaya ini?
Abah menyuruh yang lain agar menunggu saja di
bibir sungai. Sementara aku dan Dirta disuruh turun ke air. Sang pawang
dengan diapit oleh aku dan Dirta. Tangan kananku dipegang erat-erat oleh
tangan kiri Abah, dan tangan kiri Dirta dipegang erat-erat oleh tangan
kanan Abah.
Kami disuruh menghadap ke tengah sungai lalu
memejamkan mata, dan diminta jangan sekali-kali membukanya sebelum ada
perintah dari Abah. "Jangan pula kalian menengok ke belakang!" Pesan
Abah.
Entah berapa lama berlalu, kudengar Abah berucap agar kami
segera membuka mata. Aneh, saat aku membuka mataku, yang di hadapanku
bukan lagi air sungai Cipunagara, melainkan jalan lurus dengan
bunga-bunga tumbuh di sampingnya. Indah sekali. Rumah-rumah berderet
tertata rapi, bersih tidak ada sampah.
Sepanjang jalan yang kami,
lalui aku tidak henti-hentinya berdecak kagum di dalam hati menyaksikan
keanehan dan keindahan yang tampak di depan mata. Waktu itu kami juga
berpapasan dengan sejumlah penduduk yang ramah-ramah, selalu mengangguk
dan tersenyum saat berpapasan dijalan dengan kami.
Uniknya,
pakaian yang dikenakan sama warnanya, hitam. Kepala mereka juga memakai
ikat warna hitam pula, baik perempuan maupun laki-laki.
Kami
bertiga terus saja berjalan, mengikuti Abah dari belakang. Semakin jauh
melangkah semakin banyak orang kami temui, seperti layaknya memasuki
pusat kota tetapi tidak kutemui kendaraan. Semua berjalan kaki.
Sekali-kali Abah bersalaman, berbincang-bincang seperti yang sudah kenal
sebelumnya, dengan orang yang dijumpainya.
"Pak Ulis, sekarang
ini kita berada di dasar sungai Cipunagara, dan sebentar lagi kita
sampai ke tempat dimana anak Dirta berada," bisik Abah kepadaku.
Banyak
sekali sebenarnya pertanyaan-pertanyaan di benakku yang akan
kusampaikan kepada Abah, seperti kenapa tidak keluar keringat meskipun
rasanya aku merasakan berjalan ini sudah lama sekali?
Kenapa aku
merasa hari itu terang di siang hari, tetapi ketika aku tengadah tidak
melihat letak posisi mataharinya? Kubiarkan pertanyaan-pertanyaan ini
memenuhi benakku, sampai selesai tugas ini. Semoga saja kami semua
selamat berkat lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
Kami berjalan agak
sedikit di pelankan ketika melihat di depan ada sepasang gapura dengan
dua penjaga memegang tombak dan perisai di tangannya yang kekar berotot.
Pakaiannya seperti pakaian wayang orang di televisi. Kelihatannya galak
dan berwibawa. Mungkin karena pengaruh postur tubuhnya yang tinggi
besar, rambutnya gimbal sepunggung.
"Sampurasun, Gusti Punggawa!" Ucap Abah memberi salam sambil membungkukan badan kepada kedua penjaga pintu gerbang.
"Rampes,
Abah. Ada perlu apa Abah ke sini?" Jawab salah seorang punggawa dengan
suara menggema, yang sepertinya sudah mengenal Abah
"Abah kangen saja, ingin bertemu dengan paduka raja. Apakah beliau ada di istananya?" Tanya Abah.
"Ada, Abah. Kebetulan kanjeng raja baru pulang berburu, sekarang ada di paseban rempugan dengan para patih," jawabnya.
"Ada masalah apa punggawa?" Tanya Abah.
"Hamba
kurang tahu masalahnya, Abah. Lebih baik Abah masuk saja ke paseban
kalau ingin menemui raja," ucap penjaga pula sambil mempersilahkan kami
masuk dengan sebelah tangannya.
Kami berjalan lagi melewati
sebuah lapangan luas seperti alun-alun, sebelum akhirnya kami tiba di
sebuah istana yang sangat megah dengan arsitektur mirip dengan
istana-istana raja tempo dulu yang masih tersisa hingga sekarang.
Aku
seperti di alam mimpi, tetapi saat tanganku kucubit terasa sakit. Dirta
juga banyak diam. Mungkin benaknya sama denganku, banyak menyimpan
pertanyaan tentang perjalanan ini yang belum sempat ditanyakan kepada
Abah.
Kami tiba di paseban. Semua yang diruangan menyambut kami
dengan ramah, terutama kepada Abah, yang sepertinya sudah mereka kenal
sebelumnya. Kami dipersilahkan duduk bersila setelah bersalaman.
Di
kursi yang mewah dan antik, duduk seorang yang dihormati oleh
bangsanya. Sosok yang kharismatik berwibawa dengan pakaian kebesaran
yang bergemerlapan emas permata.
"Selamat datang di negeri kami. Ada apa gerangan Abah dan rekan-rekan sudi datang ke negeri kami ini?" Tanya sang raja.
"Sebelum
Abah menjawab, lebih dahulu terimalah sembah dan sujud Abah dan
teman-teman kepada yang mulia paduka raja penguasa kerajaan Kedung
Cipunagara," ucap Abah sambil membungkuk badan, lalu diikuti olehku dan
Dirta.
"Diterima sembah sujud Abah. Salam sejahtera sebaliknya
untuk bangsa manusia yang mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pada
bangsaku di sisi Yang Maha Kuasa Pencipta Alam Semesta," ucap sang raja
merendah, sambil tidak lepas seulas senyum menghias bibirnya.
"Terima
kasih atas sambutan dan doa dari padaku raja. Terlebih dahulu Abah akan
mengenalkan orang-orang yang Abah bawa, yang pertama adalah juru tulis
Supena," ujar Abah menunjuk kepadaku. "Dan ini di sebelahnya Dirta,
warga Pak Ulis Supena. Abah datang kesini hanya perantara saja. Abah
hanya menolong Dirta, kanjeng raja, yang lagi kesusahan. Coba ceritakan
sendiri kesusahanmu Nak Dirta kepada sang raja." Ucap Abah sambil
menolek kepada Dirta supaya bicara sendiri maksud kedatangannya.
Dirta
kelihatan gugup dan gelagapan saat diberi kesempatan untuk bicara
sendiri. Melihat Dirta seperti itu, walau tanpa disuruh, aku yang bicara
mengenai maksud kedatangannya.
"Begini, paduka raja. Hamba di
sini bicara mewakili Dirta karena selaku pengurus masyarakat, hamba
berkewajiban menolong masyarakat hamba yang membutuhkan pertolongan."
"Bagus…bagus,
Pak Ulis. Silahkan Pak Ulis yang bicara maksud kedatangan Dirta ke
tempat hamba ini!" Ucapnya mempersilahkan aku untuk bicara.
Aku
menarik nafas beberapa kali sebelum memulai. "Saat itu, dua hari yang
lalu, anak perempuan Dirta sedang main dengan temannya di pinggir sungai
Cipunagara. Tetapi temannya pulang mengabarkan ke warga kampung, bahwa
anak Dirta terperosok ke sungai kemudian tidak timbul lagi sampai
sekarang.
Begitulah maksud kedatangan hambar ke sini, ingin
menanyakan apakah anaknya Dirta ada disini, Paduka? Dan sekalian dengan
ijin paduka kami ingin membawa pulang kembali!" Ucapku dengan tutur
bahasa yang lemah lembuh supaya jangan ada yang tersinggung.
Sebelum
membahas mengenai anak perempuan Dirta, sang raja melemparkan
pertanyaan ke para patih yang hadir saat itu dengan suara yang nyaring,
sehingga membuat aku kaget.
"Wahai para patih, apakah ada di
antara kalian yang berani-beraninya mengganggu anak manusia?" Teriaknya
menggema mengisi ruangan paseban.
"Ampun gusti, hamba yang hadir
di ruangan ini tidak berani melanggar peraturan yang telah ditetapkan
oleh paduka raja, bahwa rakyat kerajaan Keduan Cipunagara dilarang
mengusik apalagi membawa bangsa manusia ke negeri ini," kata salah
seorang patih.
"Pa Ulis…Abah…Dirta, kalian dengan sendiri apa yang dikatakan patihku tadi, bukan?" Ucap raja dengan suara rendah.
"Ampun,
gusti! Hamba mendengarnya! Hamba kesini bukan menuduh tetapi hanya
bersifat menanyakan semata, hamba tidak menuduh," Abah menjelaskan
sembari mengangkat kedua tangannya.
"Maaf beribu maaf, paduka
gusti! Seperti yang sudah Abah katakan tadi, kami kesini hanya
menanyakan. Kalau memang ada, terima kasih. Tetapi kalaupun tidak ada,
kami haturkan terima kasih pula atas keramahtamahan, kesedian paduka
raja menerima hamba bertiga datang kesini," kataku melengkapi kata-kata
Abah.
"Seperti yang sudah hamba katakan, bahwa bangsa manusia
mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada bangsa kawula dan sudah
menjadi ketetapan bangsa kawula selama ribuan tahun bahwa nenek moyang
bangsa kawula melarang keras mengganggu manusia, apalagi memangsanya.
Karena manusia makhluk yang paling mulia di hadapan Sang Pencipta."
Sabda sang raja disambut anggukan kepala oleh para patih.
Keadaan hening sejenak di paseban. Semua membisu tidak bersuara.
"Coba
ingat-ingat lagi, Patih. Apakah ada laporan dari masyarakat dua hari
yang lalu?" Ujar sang raja kepada para patih yang hadir, memecah
kehingan.
"Ampun gusti! Hamba hanya menerima laporan dari warga
Pancerkulon yang menangkap seekor anak kambing karena mengganggu tanaman
sayuran dan sekarang anak kambing itu sudah ditangkap lalu hamba simpan
di istal." Ucap salah satu patih memberitahukan kepada rajanya.
"Apakah itu milikmu, Dirta?" Tanya sang raja.
"Ampun gusti. Hamba orang miskin, hamba tidak punya kambing!" Jawab Dirta, singkat.
Mendengar
jawaban Dirta seperti itu, mendadak Abah jengkel. Kenapa dia tidak
mendengar nasehatnya saat riungan di surau, apa yang dilihat atau
dikatakan harus diakui apapun bentuknya. Tapi, Abah tidak bisa berbuat
apa-apa di hadapan sang raja.
Setelah berbasa-basi, kami bertiga
akhirnya pamitan pulang. Kami berjalan memotong, bukan jalan yang tadi
sewaktu berangkat. Kami berdua disuruh Abah menutup mata, ketika kami
disuruh membuka mata kembali, kami sudah berada dipinggir sungai
Cipunagara dengan air sebatas lutut kami.
Tapi kenapa bajuku
tidak basah? Sungguh pengalaman yang luar biasa, dan tak akan kulupakan
seumur hidupku. Penyesalan yang sungguh teramat sangat, ketika Abah
menyalahkan Dirta, yang tidak memegang nasehatnya sebelum berangkat.
"Dunia
kita dengan dunia siluman buaya sangat berbeda. Tidak sama seperti
manusia melihat manusia. Kalau wujud asli buaya tampak di permukaan air
memangsa manusia, kemudian menyeretnya ke dalam air, itu yang dilihat
buaya bukan wujud manusia lagi, tetapi bisa kambing, celeng, atau
hewan-hewan lainnya.
Begitu pula sebaliknya pada manusia, apabila
hanya dilihat dengan dua mata kita wujud mereka adalah buaya. Akan
tetapi apabila manusia melihatnya dengan mata batin akan timbul
keakraban sesama makhluk ciptaan yang Maha Kuasa seperti yang Pak Ulis
Supena alami bersama Abah tadi." Kata Abah panjang lebar, sebelum dia
kembali ke Haurgeulis.
"Lantas, bagaimana nasib anak Dirta, Abah?
Apakah jasadnya akan mengambang dan bisa kami kuburkan sebagaimana
layaknya?" Tanyaku, penasaran.
"Mudah-mudahan!" Ujar Abah, datar.
Enam
bulan sudah Dirta menanti penantian yang sia-sia di pinggir sungai
Cipunagara, anaknya datang hanya didalam mimpi dan memberi senyuman.
"Bapak aku tidak jauh darimu. Tengoklah anakmu menjelang maghrib di Cipunagara. Pasti ada!" Pesannya.
Batinnya
terpukul waktu pertama kali menunaikan pesan mimpinya. Di hadapannya
ada sesuatu yang besar dan panjang sedang menantinya. Dia tak lebih
seekor buaya. Buaya itu menghilang masuk ke air.
Dirta menjerit
sekuat tenaga memanggil nama putrinya. Sejak itu, tiap menjelang
Maghrib, Dirta duduk di pinggir sungai Cipunagara menanti anaknya.
Kadang-kadang tertawa, kadang-kadang meratap-ratap memangil-manggil nama
anaknya.
Sampai aku mengundurkan diri jadi juru tulis karena
uzur, jasad anak Dirta tidak diketemukan lagi. Bahkan Dirta sendiri
menghilang entah kemana. Warga tidak mengetahui, cuma tiap menjelang
malam ada bunya kecil suka menampakkan diri pada warga yang sedang mandi
di sungai.
Sumber : U.Supratman (Misteri)
indospiritual.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar