Perjalanan dengan kereta api Jakarta-Blitar kali ini sungguh sangat
melelahkan. Bukan hanya penumpang yang berdesak-desakkan seperti ikan
tertumpuk dalam kaleng, namun juga mulai Bekasi hingga Tulungagung hujan
enggan berhenti. Praktis, suasana dalam gerbong kereta api makin
pengap, campur aduk antara bau keringat orang, bau pesing dari toilet
yang tidak tertutup serta barang bawaan penumpang yang menyengat hidung.
Karena
lelahnya, begitu tiba di rumah kakek, aku langsung ngorok hingga bangun
sudah bersamaan dengan mentari bertahta indah di ufuk timur.
"Mimpi apa kamu tadi malam, Ko?" sapa kakek. Begitu aku membuka mata, kakek sudah berada di samping ranjang berderitku.
"Tidak
mimpi apapun. Saya tidur sangat nyenyak, Kek. Mungkin karena lelah
setelah menempuh perjalanan yang sangat panjang," sahutku. "Apa Kakek
ingin aku mimpi ketemu Nenek di alamnya sana dan Nenek titip salam buat
Kakek?" sambungku dengan nada bercanda.
"Wong orang sudah
meninggal kok kirim salam! Nenekmu sudah tenang di alam barzah sana, Ko.
Semasa hidupnya dulu dia orang yang tekun ibadahnya, terpuji budi
pekertinya serta ibu dan nenek yang baik bagi anak dan cucunya," ujar
Kakek sambil menepuk-nepuk pundakku.
Aku terdiam mendengar
penuturannya. Memang begitulah Nenek yang ak kenal. Itu sebabnya kami
semua merasa begitu kehilangan setelah beliau wafat beberapa tahun lalu.
"Jadi
anak yang baik. Biar banyak manfaat yang kamu dapat selama menerima
amanahNya sebagai khalifah di muka bumi ini," nasehat Kakek ketika
melihat aku terdiam menyimak ucapannya tadi. Kakek memang selalu begitu.
Siapa saja yang dijumpai, tidak terbatas anggota keluarga saja, Kakek
selalu wanti-wanti agar tidak neko-neko hidup di alam mayapada ini,
supaya jika kembali ke haribaan Allah bisa khusnul khatimah, akhir yang
baik.
Hampir tiap tahun, aku selalu menyempatkan diri
menyambangi Kakek. Dia hidup sendirian, sementara anak-anaknya yang
sudah memiliki rumah sendiri-sendiri. Saat disarankan untuk ikut di
rumah salah seorang anaknya agar di hari tuanya lebih terawat, Kakek
tidak mau. Aku masih mampu mengurus diri sendiri. Aku tidak ingin
merepotkan mereka, selalu demikian Kakek beralasan tentang
ketidaksiapannya nebeng di keluarga salah satu keturunannya tadi.
"Kapan
kuliahmu kelar, Ko?" tanya Kakek suatu pagi sehabis sarapan dengan lauk
daun singkong rebus, sambal terasi kegemaran Kakek. Semua Kakek sendiri
yang masak. Sejak bujang Kakek memang tukang masak yang baik. Masakan
olahannya tidak pernah ada orang mengatakan tidak enak. Disukai siapa
saja. Tak heran jika rahasia masak Kakek jadi tumpuan menimba ilmu
kuliner dari para tetangganya.
"Sebenarnya sudah selesai, Kek. Tinggal menunggu wisuda saja."
"Oh…Terus, rencanamu ke mana setelah bangku perguruan tinggi kelak kamu tinggalkan?"
"Kerja, Kek."
"Kerja apa?"
"Apa saja mau, asal halal dan bisa untuk menopang hidup. Keinginan saya tidak terlalu muluk-muluk, Kek."
"Bagus.
Tapi ingat,jangan menyalahgunakan wewenang, menyimpangkan kekuasaan
demi keuntungan pribadi. Jaman ini memang langka orang yang idealis
demikian. Lebih baik muncul sebagai manusia langka ketimbang menjadi
orang jelek tingkah lakunya secara berjama’ah, Ko."
"Akan saya upayakan, Kek."
"Nah, harus gitu!"
Sederet
senyum kebanggaan mencuat dari wajah tua Kakek. Menurut Ibu, usia Kakek
hampir 90 tahun. Walau demikian, fisiknya masih bagus, daya ingatnya
tajam, tak pernah mengeluh sakit, kecuali lelah biasa.
Banyak
falsafah hidup kudapat dari Kakek. Dia yang bukan tipe pemarah, apalagi
berkeluh-kesah. Kakek senantiasa nrimo ing pandum yakni menerima apa
adanya tanpa berkeluh-kesah. Soal ibadah, Kakek bisa menjadi contoh
karena beliau sangat tekun ibadah. Kamus malas seperti jauh dari hidup
Kakek.
Meski hanya seorang petani, namun Kakek bukan petani minim
wawasan dan pengetahuan. Kakek tergolong petani teladan, sehingga lima
orang anak-anaknya mencicipi bangku pendidikan tinggi dan lulus menjadi
sarjana. Mereka juga menjadi pekerja yang tak jauh beda uletnya dengan
orangtuanya. Tepat kiranya jika Kakek disebut sebagai wong ndeso yang
tidak ndesani alias orang dari desa yang cara hidup dan pergaulannya
luas.
Pengamatan Kakek tentang kondisi jaman yang makin rusak ini
lumayan jeli, tajam dan tepat sasaran. Menurut Kakek, semakin bertambah
jauh penghuni bumi ini meninggalkan ajaran agama, semakin besar
malapetaka yang akan datang, susul-menyusul seperti deretan bencana yang
beberapa tahun terakhir terjadi.
"Orang yang mengaku sebagai
pemeluk agama memang makin hari bertambah banyak, tapi mereka itu ibarat
buih. Menggelembung dan kelihatan besar di permukaan, di bawah
buih-buih tersebut kosong tak ada apa-apanya. Orang beragama yang hanya
ingin dipuji, ingin disebut fanatik. Buktinya orang bermoral tercela
malah muncul di mana-mana," kritik Kakek.
Di masa Kakek muda
dulu, tekhnologi memang tidak secanggih sekarang. Namanya orang jahat
akan selalu ada, bersamaan dengan terciptanya bumi, langit beserta
isinya ini. Untuk mengantisipasi tindak kejahatan, di samping benteng
agama kuat, orang harus menguasai tekhnologi juga, agar tidak dimakan
orang lain.
"Dulu orang durjana, orang yang bermaksud tidak baik
kepada kita hanya bisa diimbangi dengan doa dan ilmu kanuragan. Orang
tidak mempunyai kesaktian akan jadi bulan-bulanan orang sekitarnya,"
ujar Kakek panjang lebar. Tapi aku senang mendengarnya karena apa yang
diucapkannya penuh petuah.
Apa yang dikatakan Kakek paling akhir
ini menjadikan aku teringat akan peristiwa yang sungguh tak kuduga
sebelumnya. Dua tahun lalu, suatu malam dengan sinar rembulan merajai
alam, Kakek mengajakku ke bagian belakang tempat tinggalnya. Aku sendiri
tak tahu apa kehendak Kakek kali ini. Dua hari sebelumnya Kakek membuat
anyaman bambu menyerupai kurungan ayam, dengan lebar lebih empat meter
serta tinggi lima meter.
Kakek memintaku untuk membuka kurungan
tersebut, sementara dia duduk bersila di dalamnya. Entah apa yang
dilakukannya, sesaat setelah merapalkan doa, Kakek tidak ada lagi di
dalam sangkar bambu ini. Ke mana dia? Tiba-tiba.. masya Allah! Jantungku
terasa nyaris rontok manakala di dalam sangkar berdiri dengan garangnya
seekor macan putih. Saking besarnya, tubuhnya hampir memenuhi setiap
jengkal lokasi sangkar.
"Tak usah takut, Ko. Aku kakekmu si
Sumarto Joyo. Aku hanya ingin memperlihatkan kepadamu bahwa dengan wujud
harimau putih inilah, dulu Kakek bisa membikin bertekuk-lutut
orang-orang yang ingin mencelakai Kakek," kata Kakek. Suaranya terdengar
menggema, seakan guntur yang menyambar di tengah hujan badai.
Aku mencoba menenangkan diri sambil perlahan kembali mendekat ke kandang itu.
"Sedetik lagi akan kamu lihat wujud asli Kakek sesungguhnya," kata harimau itu setelah aku mendekat.
Benar
juga. Perwujudan harimau tadi telah lenyap, ganti Kakek yang sedang
pringas-pringis minta dibukakan sangkar buatannya. Secara iseng
kutanyakan apakah ilmu semacam ini tidak merepotkan pemilknya tatkala
hendak meninggal.
"Ada mantra dan amalan penawarnya. Lagi pula ilmu demikian sudah tidak dipraktekkan lagi setelah kakek menikah," jawab kakek.
Sampai
saat ini saya masih mengingat hal itu. Diam-diam aku ingin belajar tapi
Kakek belum mengijinkan. Saya yakin suatu waktu Kakek pasti akan mau
mengajarkannya pada saya.
Sumber : Dawa (Misteri)
indopsiritual.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar